Setelah lulus(1)

by - 7/15/2016

LULUS. Satu kata yang diidam-idamkan banyak sekali mahasiswa, termasuk aku. Pikiran untuk lulus tepat waktu selalu membayangi diri sepanjang awal tahun 2015. Dan alhamdulillah, segala puji bagi Allah, karena tanpa izin-Nya, kata lulus itu tidak akan kudapatkan.

Juli 2015 menjadi saksi kebahagiaan, haru, dan derasnya doa. Serta memang usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Akhirnya kata itu keluar dari pembimbing di sebuah ruangan sidang. Dan agustus 2016 menjadi saksi, dimana toga itu disematkan, nama baru itu disematkan, dan begitu pulalah dengan tanggung jawab dan tantangan yang lebih hebat.

Lulus itu gampang, tapi mau apa setelah lulus?
Pertanyaan-pertanyaan setelah lulus selalu membayangi semua lulusan. Ada beberapa yang sudah bekerja, ada yang buka usaha, ada yang masih diam di rumah sembari galau. Ya, saya termasuk golongan yang terakhir.

Setelah lulus, banyak teman-teman yang sudah merantau lagi. Kali ini bukan di kota tercinta Bandung lagi, tapi hijrah ke Jakarta. Dan saat itu saya belum tergugah hatinya untuk bertempur disana. Kemudian saya putuskan untuk pulang. Ya, pulang. Pulang dari segala pulang. Pulang ke rumahmu sendiri. Rumah yang sudah menjadi saksi bisu bayi kecil yang kulitnya rapuh itu sudah tumbuh hingga pakai toga sekarang.

Tiba-tiba saja, tidak ada angin tak ada hujan, aku mengetahui isi hati mama.

Kerja di kampung aja.

Begitu kira-kira. Mungkin beliau sudah tidak ingin berjauhan dengan putri satu-satunya ini. Mungkin beliau ingin setiap hari melihat putrinya pergi bekerja. Terlebih ketika bercanda:

Dari kecil udah disekolahin sampai besar, giliran udah kerja eh malah bantuin perusahaan orang lain, bukan bantuin orangtuanya.

Ha ha ha. Nyebelin kalimatnya, tapi benar juga. Setelah sekolah dewasa, kita kebayakan malah mengabdi kepada orang lain, bukan orangtua kita sendiri.

Akhirnya, karena permintaan mama itulah, kuputuskan untuk diam saja di rumah. Mencari pekerjaan dekat dengan rumah. Ya kalaupun tidak bisa di dekat rumah, setidaknya merantau yang setiap minggu bisa pulang, mengunjungi mama dan papa yang aku sadar betul kulitnya sudah tak sekencang dulu. Aku sering sedih, ketika duduk di sebelah mereka, dan melihat perbedaan yang terjadi. Aku semakin besar, mereka semakin tua. Lalu apa yang bisa aku berikan kepada mereka?

Akhirnya aku sudah putuskan.

Kuputuskan untuk mengikuti kemauan mama, mencari pekerjaan sedekat mungkin dengan kedua orangtuaku.


Bulan pertama setelah sidang, sebenarnya aku sudah mulai risau, teman-temanku kebanyakan sudah dapat pekerjaan. Sementara aku, masih di rumah membantu kedua orang tua. Namun sempat mama berbicara

Udah, istirahat dulu, nanti habis wisuda baru mulai mikir lagi.
Lagi-lagi aku menuruti mama, mengiyakan semua maunya. Aku mencoba menikmati kehidupan di rumah, kehidupan yang sudah selama 6 tahun ini terenggut oleh kota rantauku disana.

Tawaran pekerjaan di dekat rumah hanya sebatas perbankan, dan sudah menjadi keputusan final untuk tidak mengambil pekerjaan di perbankan. Aku masih bersikeras, mencoba menjauhi riba sedikit demi sedikit. Hingga sampailah pada kalimat seorang ayah yang sudah lelah melihat anaknya menganggur di rumah.

"Lis, itu loh Pak nananana nawarin kamu untuk kerja di bank nya...", ucapan papah sembari tidak melihatku.
"Nggak, pah. Papah lebih milih elis kerja tapi dosa, apa elis diem di rumah tapi nggak dosa?"
Akhirnya papah diam. Beliau sudah lelah berurusan denganku yang cukup keras kepala ini. Ya Allah, aku tau mereka berniat baik, membuatku bekerja di dekat mereka. Bertemu mereka setiap hari. Membantu mereka, merawat mereka. Meski sebenarnya sampai detik ini masih saja mereka yang merawatku. Aku tau. Tapi Pah, maafin Elis ya. Elis ngga bisa. Elis harus nolak permintaan papah.

Perjuangan setelah lulus memang tidak pernah mudah. Tapi percayalah, Allah pasti sedang menyiapkan sesuatu. Ia tidak akan diam saja. Tinggal berusaha, dan berdoa.

Waktu itu di Purwokerto pernah ikut test juga, 2 kali. Yang pertama gagal, dan yang kedua diterima, tapi setelah dipikir akhirnya malah tidak jadi aku ambil dengan alasan pribadi wkwk. Terlalu panjang kalau diceritakan disini he he he.

Akhirnya setelah bolak balik Purwokerto, Papah sudah mulai tidak tenang melihatku kemana mana. Beliau malah nyuruh aku untuk nikah aja. HAHAHA. Ini yang baca jangan ketawa ih, pelis...

Dan ternyata, sepertinya belum berjodoh sama beliau. Jadi aku putuskan untuk berdiri sendiri. Aku harus bisa berdiri sendiri. Aku harus bisa membuktikan kepada orang-orang, kepada orangtuaku, kepada laki-laki, terlebih kepada diri sendiri, kalau aku bisa. Aku tidak mau menikah dengan seseorang tanpa aku bekerja terlebih dahulu. Ikut mengabdi padanya dan...ah, ini 2016, kita bicara worst case aja ya!

Memang mungkin dasarnya pikiran aku memang tidak begitu positif(wajar atuh kan kalian semua tau  akumah jahat), jadi aku berusaha menimbang keadaan. Bagaimana jika aku menikah di usia segini, bagaimana jika aku menikah tanpa aku pernah proving terhadap diriku sendiri dan orang lain kalau aku mampu. Bagaimana jika aku nanti disia-siakan karena hanya mendukung suami dari rumah? Bagaimana kalau nasib baik sedang tidak berpihak padaku... Dan bagaimana-bagaimana yang lain. Aku ini perempuan, memang harus selalu memikirkan worst case. Kalau kamu tidak setuju aku tak peduli.

Memang tidak ada yang diragukan dengan seseorang yang dikenalkan itu. Tapi...setiap orang punya goals untuk hidupnya. Jikalau dulu aku memilih, mungkin ceritaku takkan begini. Mungkin cerita setelah lulus ini terisi dengan cerita pernikahan dan hamil muda. HAHAHA.

Terlebih lagi aku tau, amat tau. Masa bakti perempuan amat pendek. Setelah lulus, kemudian langsung menikah? Terus kapan aku bahagiain mamanya? Kapan aku bantuin adikku sekolah? Kapan aku memberikan kasih sayangku kepada mereka? Setelah menikah, baktiku untuk suami. Murni.

Hmmm

Tapi takdir berkata lain, mungkin Allah ingin membuat waktu mudaku sedikit lebih panjang dan ada ceritanya. Aku juga ingin nanti bercerita kepada anak-anakku, pertama kali ibunya mencari kerja. Menceritakan tips-tips penting dalam pekerjaan dan menghadapi orang lain. Ya kan? take your time, honey :)

Ma, aku hanya perlu waktu lebih untuk belajar.
Belajar di Universitas Kehidupan.

Boleh ya, Ma? Doakan saja supaya ini tidak terlalu lama, hehe.

Aku masih saja menuruti keinginan orangtuaku, sembari membantu pekerjaan mereka di toko kecil kami. Emang, cari uang tidak ada yang mudah :) Sampai pada suatu ketika mamah berkata,

Yaudah kalau mau merantau lagi, mamah izinin.
Kalimat itu seperti hujan di tengah gurun. Mendinginkan sampai ke akar. Tanpa diminta, tanpa ditanya. Orangtua memang tidak perlu bertanya untuk tau keadaan anaknya. Masya Allah Mamah, mamah tau benar aku bukan orang yang mudah untuk sengaja berbicara meminta izin mama. :')

Seorang ibu memang yang paling tau anaknya. 
Setelah melalui itu semua, ternyata ada informasi pekerjaan di kampusku, tau kan? itu loh yang di Bandung, yang gedungnya terbuat dari tembok. Terus ada beberapa pohon yang dimakan ulat. Sama ada penjual seblak di depannya, seblaknya enak. Iya, kampusku yang itu.

Akhirnya aku diterima kerja, menjadi junior Technical Writer. Pekerjaan yang sama sekali tak aku tahu seluk beluknya, namun masih aku geluti sampai aku menuliskan ini. Aku terikat padanya.


Aku bekerja di Direktorat Sistem Informasi, SISFO Universitas Telkom. kurang lebih aku disana lima bulan. Bukan waktu yang sebentar loh, karena disana aku benar-benar mencintai orang-orangnya. Ehm...sebenarnya hanya beberapa, sisanya ya formalitas lah! Jangan bilang-bilang ya. Bagaimanapun aku tetap mencintai Sisfoers. Saranghae~ (angkat tangan ke atas kepala bentuk love)

Disana aku menemukan banyak ilmu baru, adaptasi dengan orang baru, koordinasi dengan orang baru, dengan yang lebih tua, belajar bertanggung jawab, belajar mencintai pekerjaan. Karena seriously, mencintai pekerjaan adalah hal yang penting. PENTING.

Aku masih ingat saat ditanya pewawancara,
Gaji nomor berapa? 
Dua.
Yang pertama?
Aku mencintai pekerjaan itu.
 Dan ternyata, Ya! Aku menemukan cinta disana. Suasana kerja yang kekeluargaan, rekan kerja yang asik, ah semuanya. Terimakasih ya Allah. Terima kasih banyak ya atas kenangannya Risbangsiers. Makasih banyak buat Mamih, Nta, Ipeh, Mas Akip yang akan rindu karena ngga ada yang ikutan nyanyi padahal fals dan ga beranian, Mas Asep yang akan rindu padaku karena ngga ada yang pesenin makan lagi, Mas Tri, Mas Fahry Oppa, Mba Aul, Ka Jen, Mba Elis (nama kita emang sama), Mba Bo yang semoga cepat sebar undangan ya, Mas Riki, Mas Zehan, Mas Day, Pepi yang akan rindu karena ngga ada yang marah-marahin lagi karena kerjaan belum selesai ha ha ha. Terimakasih juga untuk Pak Daw, Bu Ril, Pak Yan dan semua sisfoers yang tidak dapat disebutkan satu per-satu. Terima kasih.






Tapi sekarang aku harus keluar dari zona nyaman. Aku sadar betul bahwa hidup tak cukup kalau hanya disitu-situ saja. Namun yang harus digaris bawahi adalah...

Jangan galau ketika lulus. Langsung tentukan kota mana yang akan kamu tuju. Kita harus sadar bahwa rezeki kita entah dimana, kita hanya bisa mengusahakannya. 
Meskipun sedih karena harus merantau, karena harus jauh dari mama dan papa lagi, dan harus melukai hati mereka lagi, setidaknya aku sudah berusaha, berusaha mengiyakan keinginan mama untuk beberapa bulan. Namun takdir memang sulit, Ma. Elis harap mama mengerti. Elis mencintai mama papa di rumah. Sehat-sehat selalu ya. 



(to be continued)

You May Also Like

0 comments